Rabu, 09 April 2014

ANALISIS PSIKOLOGI TOKOH DALAM ROMAN SITTI NURBAYA KARYA MARAH RUSLI

ANALISIS PSIKOLOGI TOKOH DALAM ROMAN
SITTI NURBAYA KARYA MARAH RUSLI
Tubagus Rahmat
Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
FKIP Untirta
Abstraksi
Kata Kunci :
Latar Belakang
Roman merupakan bagian dari karya sastra. Setiap generasi (periode) tentu menghasilkan karya sastra dengan gaya serta ciri khas yang menjadi pembeda antara satu periode dengan periode yang lain. Roman Sitti Nurbaya adalah karya sastra yang hadir ditengah-tengah karya sastra lainnya yang berkembang pada periode 1900-1933. Periode ini menjadi babakan periodisasi sastra pertama di kesusastraan Indonesia.[1] Roman ini merupakan hasil dari inspirasi roman sebelumnya yaitu Azab dan Sengsara (1920) yang bertemakan kawin paksa. Selain itu, roman Sitti Nurbaya adalah roman kedua yang diterbitkan dalam bahasa Indonesia setelah roman sebelumnya ‘Azab dan Sengsara’. Roman ini menjadi salah satu roman terpenting pada masa itu. Selain diterbitkan dalam bahasa Indonesia, roman ini merupakan wajah kondisi pada masa itu. Roman ini ditulis oleh pengarang yang bernama Marah Rusli. Seorang yang terpelajar dari tanah Minang.
Kebermenarikan lain dalam roman ini ialah mampu mengkritisi kepincangan peraturan adat istiadat yang mengakar dikehidupan masyarakat Minang. Selain itu, walaupun secara tersirat, roman ini juga menggambarkan kesengsaraan rakyat Indonesia di jajah oleh kolonial Belanda. Itulah beberapa alasan mengapa saya memilih roman Sitti Nurbaya sebagai objek analisis penulis. Penulis mencoba lebih memperhatikan penyilangan konsep tokoh. Ada beberapa tokoh yang menyimpang dari jalan penokohan yang semestinya. Apa yang melatarbelakangi tokoh tersebut melakukan hal demikian? Lalu adakah dampak psikologis pada tokoh yang bersangkutan? Maka dari itu penulis memilih kajian pendekatan psikologi sastra sebagai dasar pijakan.
Landasan Teori
Kajian Pendekatan Psikologi Sastra
            Istilah “psikologi sastra” mempunyai empat kemungkinan pengertian. Pertama adalah studi psikologi pengarang. Sebagai tipe atau sebagai pribadi. Keduan adalah sebagai studi proses kreeatif. Ketiga studi tipe dan hukum-hukum psikologi yang diterapkan pada karya sastra. Dan yang keempat mempelajari dampak sastra pada pembaca (psikologi pembaca).
            Istilah seniman menurut Freud asal mulanya adalah seorang yang lari dari kenyataan ketika untuk pertama kalinya ia tidak dapat memenuhi tuntutan untuk menyangkal pemuasan insting. Kemudian dalam kehidupan fantasinya ia memuaskan keinginan erotic dan ambisinya. Tetapi, ia dapat menemukan jalan untuk keluar dari dunia fantasi ini dan kembali kenyataan; dan dengan bakatnya yang istimewa, ia ia dapat membentuk fantasinya untuk menjadi suatu jenis realitas baru, dan orang menerimanya sebagai bentuk perenungan hidup yang bernilai. Jadi dengan jalan khusus ia menjadi sang pahlawan, raja, pencipta, tokoh favorit yang memang diinginkannya tanpa harus melalui jalan berputar untuk membuat perubahan nyata pada dunia luar.
            Penyair adalah pelamun yang diterima masyarakt. Penyair tidak perlu mengubah kepribadiannya, ia boleh meneruskan dan mempublikasikan lamunannya.
            Batasan seperti itu, menempatkan filsuf dan “ilmuwan murni” satu kelompok dari penyair, dan isi semacam “redaksi” berdasarkan aliran positifisme – membatasi kegiatan kontemplatif pada pengamatan dan proses memberi nama saja, tanpa tindakan aktif.
            Kebanyakan pengarang sekarang mulai meninggalkan Freudianisme dan mereka yang sudah memulai, berhenti membuat psikoanalisa. Kebanyakan penyair menolak untuk disembuhkan atau menyesuaikan diri dengan norma masyarakat. Menyesuaikan diri berarti mematikan dorongan menulis, atau mengikuti arus lingkungan yang dianggapnya munafik atau borjuis.
            Teori seni sebagai gangguan emosi menampilkan masalah hubungan imajinasi dengan kepercayaan. Apakah novelis sama dengan anak kecil yang “suka mengarang”, merekrontruksikan pengalaman semuanya sendiri kadang-kadang untuk menonjolkan diri? Atau apakah pengarang seperti pengarang menagalami halusinasi, mencampuradukan kenyataan dengan khayalan yang diidam-idamkan atau yang ditakut-takutkannya? Sejumlah novelis pernah mengaku melihat dan mendengar tokoh-tokoh mereka. Tetapi mungkin sejumlah novelis mempunyai kemampuan yang umum dimiliki anak-anak yaitu kemampuan membayangkan hal-hal eidetic (bayangan yang bersifat indrawi, bukan berdasarkan ingatan atau tiruan atas objek tertentu).
Pembahasan
Daftar Pustaka
Sumber Buku :
Rusli, Marah. 2008. Sitti Nurbaya. Jakarta : Balai Pustaka
Warren, Austin & Rene Wellek. 1995. Teori Kesusastraan. Jakarta : Gramedia
Rosidi, Ajip. 1965. Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia. Bandung : Binekacipta
Sumber Jurnal:



[1] Ajip Rosidi, Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar