ANALISIS PSIKOLOGI TOKOH DALAM ROMAN
SITTI NURBAYA KARYA MARAH RUSLI
Tubagus Rahmat
Program Studi
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
FKIP Untirta
Abstraksi
Kata
Kunci :
Latar
Belakang
Roman
merupakan bagian dari karya sastra. Setiap generasi (periode) tentu
menghasilkan karya sastra dengan gaya serta ciri khas yang menjadi pembeda
antara satu periode dengan periode yang lain. Roman Sitti Nurbaya adalah karya
sastra yang hadir ditengah-tengah karya sastra lainnya yang berkembang pada
periode 1900-1933. Periode ini menjadi babakan periodisasi sastra pertama di
kesusastraan Indonesia.[1]
Roman ini merupakan hasil dari inspirasi roman sebelumnya yaitu Azab dan
Sengsara (1920) yang bertemakan kawin paksa. Selain itu, roman Sitti Nurbaya
adalah roman kedua yang diterbitkan dalam bahasa Indonesia setelah roman
sebelumnya ‘Azab dan Sengsara’. Roman ini menjadi salah satu roman terpenting
pada masa itu. Selain diterbitkan dalam bahasa Indonesia, roman ini merupakan
wajah kondisi pada masa itu. Roman ini ditulis oleh pengarang yang bernama
Marah Rusli. Seorang yang terpelajar dari tanah Minang.
Kebermenarikan
lain dalam roman ini ialah mampu mengkritisi kepincangan peraturan adat
istiadat yang mengakar dikehidupan masyarakat Minang. Selain itu, walaupun
secara tersirat, roman ini juga menggambarkan kesengsaraan rakyat Indonesia di
jajah oleh kolonial Belanda. Itulah beberapa alasan mengapa saya memilih roman
Sitti Nurbaya sebagai objek analisis penulis. Penulis mencoba lebih
memperhatikan penyilangan konsep tokoh. Ada beberapa tokoh yang menyimpang dari
jalan penokohan yang semestinya. Apa yang melatarbelakangi tokoh tersebut
melakukan hal demikian? Lalu adakah dampak psikologis pada tokoh yang
bersangkutan? Maka dari itu penulis memilih kajian pendekatan psikologi sastra
sebagai dasar pijakan.
Landasan
Teori
Kajian
Pendekatan Psikologi Sastra
Istilah “psikologi sastra” mempunyai empat kemungkinan
pengertian. Pertama adalah studi psikologi pengarang. Sebagai tipe atau sebagai
pribadi. Keduan adalah sebagai studi proses kreeatif. Ketiga studi tipe dan
hukum-hukum psikologi yang diterapkan pada karya sastra. Dan yang keempat
mempelajari dampak sastra pada pembaca (psikologi pembaca).
Istilah seniman menurut Freud asal mulanya adalah seorang
yang lari dari kenyataan ketika untuk pertama kalinya ia tidak dapat memenuhi
tuntutan untuk menyangkal pemuasan insting. Kemudian dalam kehidupan fantasinya
ia memuaskan keinginan erotic dan ambisinya. Tetapi, ia dapat menemukan jalan
untuk keluar dari dunia fantasi ini dan kembali kenyataan; dan dengan bakatnya
yang istimewa, ia ia dapat membentuk fantasinya untuk menjadi suatu jenis
realitas baru, dan orang menerimanya sebagai bentuk perenungan hidup yang
bernilai. Jadi dengan jalan khusus ia menjadi sang pahlawan, raja, pencipta,
tokoh favorit yang memang diinginkannya tanpa harus melalui jalan berputar
untuk membuat perubahan nyata pada dunia luar.
Penyair adalah pelamun yang diterima masyarakt. Penyair
tidak perlu mengubah kepribadiannya, ia boleh meneruskan dan mempublikasikan
lamunannya.
Batasan seperti itu, menempatkan filsuf dan “ilmuwan
murni” satu kelompok dari penyair, dan isi semacam “redaksi” berdasarkan aliran
positifisme – membatasi kegiatan kontemplatif pada pengamatan dan proses
memberi nama saja, tanpa tindakan aktif.
Kebanyakan pengarang sekarang mulai meninggalkan
Freudianisme dan mereka yang sudah memulai, berhenti membuat psikoanalisa.
Kebanyakan penyair menolak untuk disembuhkan atau menyesuaikan diri dengan
norma masyarakat. Menyesuaikan diri berarti mematikan dorongan menulis, atau
mengikuti arus lingkungan yang dianggapnya munafik atau borjuis.
Teori seni sebagai gangguan emosi menampilkan masalah
hubungan imajinasi dengan kepercayaan. Apakah novelis sama dengan anak kecil
yang “suka mengarang”, merekrontruksikan pengalaman semuanya sendiri
kadang-kadang untuk menonjolkan diri? Atau apakah pengarang seperti pengarang
menagalami halusinasi, mencampuradukan kenyataan dengan khayalan yang diidam-idamkan
atau yang ditakut-takutkannya? Sejumlah novelis pernah mengaku melihat dan
mendengar tokoh-tokoh mereka. Tetapi mungkin sejumlah novelis mempunyai
kemampuan yang umum dimiliki anak-anak yaitu kemampuan membayangkan hal-hal eidetic (bayangan yang bersifat indrawi,
bukan berdasarkan ingatan atau tiruan atas objek tertentu).
Pembahasan
Daftar
Pustaka
Sumber
Buku :
Rusli, Marah. 2008. Sitti Nurbaya. Jakarta : Balai Pustaka
Warren, Austin & Rene Wellek. 1995. Teori Kesusastraan. Jakarta : Gramedia
Rosidi, Ajip. 1965. Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia. Bandung : Binekacipta
Sumber
Jurnal:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar